3.04.2010

Akhlasa menurut al-qur'an

saya sedang mao mengisi ilmu saya tentang keiklasan dan coba mampir ke situs pusat studi al-qur'an dan saya mendapatkan artikel yang berisi tentang akhlasa dan ini sangat bagus untuk dibaca jadi saya kutip kembali artikel yang sangat bagus ini.
Kata akhlasha adalah bentuk kata kerja lampau transitif yang diambil dari kata kerja intransitif khalasha (
خَلصَ) dengan menambahkan satu huruf ‘alif (أ). Bentuk mudhâri‘ (sekarang) dari akhlasha (اَخْلَصَ) adalah yukhlishu (يُخْلِصُ) dan bentuk mashdarnya yaitu ikhlash (إِخْلاص). Kata tersebut tersusun dari huruf kha’, lam dan shad yang berarti, “murni”, “bersih”, “jernih”, “tanpa campuran”. Maknanya kemudian berkembang menjadi antara lain “tulus” karena perbuatannya murni dari pengaruh yang lain, “memilih” karena mengambil sesuatu yang tidak bercampur dengan hal yang tidak dikehendaki, “bebas” karena terlepas dari campur tangan atau pengaruh pihak lain, “menyendiri” karena melepaskan diri dari orang banyak, “ikhlas” karena memurnikan perbuatan hanya untuk Allah dan terlepas dari tujuan-tujuan lain, “khusus” karena murni kepada yang ditujukan.

Kata ikhlash (bentuk mashdar akhlasha) mempunyai beberapa pengertian. Menurut al-Qurtubi, ikhlash pada dasarnya berarti “memurnikan perbuatan dari pengaruh-pengaruh makhluk”. Ar-Ruwaim mendefinisikannya dengan “tidak ada keinginan dari pelakunya terhadap imbalan dan pahala di dunia dan akhirat’. Al-Junaid mengartikannya sebagai “rahasia di antara hamba dan Allah, tidak diketahui oleh para malaikat lalu mencatatnya, setan juga tidak mengetahuinya sehingga tidak dapat merusaknya, dan hawa nafsu pun tidak mengenalinya lalu condong kepadanya”. Sejalan dengan Al-Juwaini, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi mengemukakan arti ikhlas dengan menampilkan sebuah riwayat dari Nabi Saw, “Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, “Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah,” lalu Allah berfirman, “(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku yang Aku berikan ke dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku.” Pengertian yang demikian dapat dijumpai di dalam S. Al-Insan [76]: 9, ”Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanya untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.”

Akhlasha dan pecahannya di dalam al-Quran terulang 31 kali dan akhlasha sendiri terulang dua kali dengan pelaku yang berbeda. Bentuk lain yang terdapat di dalam al-Quran adalah bentuk ism fa‘il dari akhlasha, yaitu mukhlish/mukhlishûn/mukhlishîn (مَخْلِص/مُخْلِصُوْن/مخُْلِصِين = orang-orang yang ikhlas), terulang 20 kali. Sebagian dari kata tersebut, ada ulama yang membacanya sebagai bentuk ism maf‘ul sehingga menjadi mukhlash/mukhlashîn/mukhlashûn (مخُْلَصُون/مَخْلَصِين/مُخْلَص = orang-orang yang terpilih); bentuk kata kerja intransitif, khalasha (خَلصَ = menyendiri) sekali; bentuk ism fa‘il, khâlish/khâlishah (خالِصَة/خالِص = yang murni, yang khusus) tujuh kali; dan bentuk kata kerja sekarang (mudhâri‘), astakhlishu (أسْتَخْلصْ = aku memilih) sekali.

Kata akhlasha yang terdapat di dalam S. An-Nisâ’ [4]: 146 diartikan dengan “memurnikan”, yaitu memurnikan ibadah dan ketaatan kepada Allah dari ria dan syirik. Ayat ini berkaitan dengan orang-orang yang tidak termasuk munafik yang akan disiksa kelak di dalam neraka yang paling rendah, yaitu orang-orang yang bertobat, dan berpegang teguh pada agama Allah dan memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah. Akhlasha di dalam S. Shad (38): 46, diartikan dengan mensucikan atau menjadikan tulus. Ata’ dan Malik bin Dinar mengartikannya dengan ‘mensucikan’, yaitu Allah mensucikan hati mereka (Ibrahim, Ishaq, dan Ya‘qub a.s.) dari mencintai dunia. Adapun Mujahid mengartikannya dengan ‘menjadikan mereka tulus melakukan perbuatan untuk dan mengingatkan manusia tentang kehidupan akhirat.’

Orang yang melakukan perbuatan ‘ikhlas’ disebut mukhlish (مُخْلِص). Di dalam Alquran kata مُخْلِص dan jamaknya مُخْلِصِين/مُخْلِصُون, ada yang dapat dibaca dengan dua cara, yaitu mukhlish atau mukhlishun/mukhlishin (bentuk ism fa‘il) atau mukhlash atau mukhlashun/mukhlashin (bentuk ism maf‘ul), seperti yang terdapat di dalam S. Maryam (19): 51, Yusuf (12): 24, Ash-Shaffat (37): 40, 74, 128, 160, dan 169, serta Shad (38): 83. Bila dibaca mukhlish maka maknanya adalah ‘orang yang tulus atau ikhlas kepada Allah’, tetapi jika dibaca mukhlash maka maknanya adalah ‘orang pilihan (Allah).’ Kedua makna tersebut dapat digunakan untuk menerangkan orang yang disebut di dalam ayat yang dimaksud. Kata tersebut digunakan berkaitan dengan Nabi Musa a.s. (S. Maryam [19]: 51); Nabi Yusuf a.s. (S. Yusuf [12]: 24); orang-orang yang akan mendapatkan kenikmatan di surga (S. Ash-Shaffat [37]: 40); orang yang tidak termasuk golongan yang sesat yang akan di azab di akhirat; padahal, telah datang kepada mereka pemberi peringatan (S. Ash-Shaffat [37]: 74); Nabi Ilyas a.s. dan umatnya yang tidak termasuk penyembah Ba‘l dan akan masuk neraka (S. Ash-Shaffat [37]: 128); jin yang tidak termasuk penghuni neraka (S. Ash-Shaffat [37]: 160); orang musyrikin yang seandainya mendapat kitab dari Allah tentulah mereka akan termasuk orang yang ikhlas (S. Ash-Shaffat [37]: 169); dan orang yang akan selamat dari godaan iblis yang telah bersumpah kepada Allah akan menggoda segenap anak Adam (S. Shad [38]: 83).

Di samping itu, ada yang hanya dibaca dengan mukhlish dan jamaknya mukhlishin/ mukhlishun. Bacaan yang demikian selalu dikaitkan dengan kata ad-din (الدِّيْن) kecuali pada S. Al-Baqarah (2): 39. Kata ad-din, menurut para ahli tafsir, berarti ‘ibadah’ atau ‘ketaatan kepada Allah’. Hal ini berarti bahwa penggunaan kata mukhlish (مُخْلِصْ ) selalu diartikan dengan ‘orang yang melakukan perbuatan (ibadah atau ketaatan) yang tulus kepada Allah dan terlepas dari pengaruh makhluk yang terwujud di dalam ria dan syirik’. Penggunaan kata yang demikian berkaitan dengan perintah menyembah kepada Allah dengan penuh keihlasan (S. Az-Zumar [39]: 2, 11, dan 14, Al-A‘raf [7]: 29, serta Al-Mu’min [40]: 14 dan 65); tabiat manusia yang jika dalam kesulitan pasti akan memohon dengan sejernih hati (ikhlas) hanya kepada-Nya (S. Yunus [10]: 22, Al-‘Ankabut [29]: 65, Luqman [31]: 32); Ahli Kitab yang diperintah hanya menyembah dengan ikhlas kepada Allah, tetapi mereka mengkhianatinya (S. Al-Bayyinah [98]: 5); dan pertentangan orang beriman dengan orang Nasrani dan Yahudi, sedangkan orang beriman adalah yang lebih tulus menyembah kepada Allah (S. Al-Baqarah [2]: 139). (Zubair Ahmad).

Dikutip dari : Pusat studi Qur'an

Template by : kendhin x-template.blogspot.com